Saturday, October 11, 2014

TUGAS MAKALAH KEBIJAKAN KEHUTANAN DAN MASYARAKAT LOKAL


SOSIOLOGI KEHUTANAN
Kebijakan Kehutanan Dan Masyarakat Lokal




Oleh :
Kelompok 5


Aldi Saputra                  L 131 13 194
Deden Prayogo             L 131 13 179
Supardi                         L 131 13 150
Astri Damayanti            L 131 13 207
Ayu Rahma                  L 131 13 159
Ivon Ristania Podala      L 131 13 210
Erin Putri                      L 131 13  ___





JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN

2014

BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
Hutan dalam pengertian fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ketergantungan manusia terhadap sumberdaya alam (natural resource) telah dimulai sejak kehadiran manusia pertama di bumi. Ketergantungan tersebut dalam upaya mempertahankan eksistensinya dan selanjutnya guna peningkatan kesejahteraannya. Akibat peningkatan populasi dan konsekwensi pemenuhan kebutuhannya (primer, sekunder, dan tersier), manusia dalam hal ini masyarakat lokal tradisional mulai mencoba memelihara dan membuat aturan main pemanfaatan sumberdaya agar tidak punah. Meskipun demikian pengalaman perusakan sumberdaya, misalnya hutan, tidak pernah terdengar akibat eksploitasi berlebihan dari masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat
Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dimulai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh.

b.      Rumusan Masalah.

1.      Bagamana perkembangan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan lestari?
2.      Bagaimana tradisi perkembangan pengelolahan hutan oleh masyarakat lokal?

c.       Tujuan

1.      Mengetahui perkembangan dalam peraturan pemerintah pada bidang kehutanan dalam pengelolaan hutan yang lestari.
2.      Mengetahui tradisi pada perkembangan pengelolahan hutan yang di lakukan oleh masyarakat lokal yang berada pada lingkungan hutan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Kebijakan Kehutanan.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat. Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan.
Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

B.     Kebijakan Pemerintah Pada Pengelolaan Hutan.
Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:
a.       Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.
b.      Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.
c.       Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).
Setelah Peraturan ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar- besaran dilakukan pemerintah, terutama di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tahun 1999 produk hukum Kehutanan kembali diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41 tahun 1999 disertai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 dimana Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam penjelasan, dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.
Gugatan terhadap urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistis di zaman orde baru di jawab dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.62.1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan.
Kebijakan selanjutnya yang keluar dalam periode implementasi UU 41/1999 adalah PP 6/1999 tanggal 27 Januari 1999. Ada beberapa poin penting dalam PP ini adalah :
1.      Pemberian HPH dengan luas lebih dari 50.000 hektar dilakukan melalui pelelangan.
2.      Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan.
3.      Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku.
4.      Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20 tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok.
5.      HPH bisa dipindahtangankan.
6.      Koperasi dapat memperoleh HPH dan
7.      Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP).
Adanya beberapa poin yang kontroversial pada PP 6/1999 seperti HPH dapat digunakan sebagai jaminan, kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. PP 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, dan PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Khususnya dalam PP 34/2002, beberapa poin baru yang menarik adalah :
1.      Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan,
2.      Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah menjadi kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung dan KPHK untuk Hutan Konservasi,
3.      Hak pengusahaan hutan diganti menjadi ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH),
4.      Pemberian wewenang pemberian ijin kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Kaitannya dengan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdapat kerancuan yang cukup mengganggu, yaitu meskipun namanya ijin usaha pemanfaatan namun pemegang ijin usaha masih dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih diwajibkan untuk melakukan rehabilitasi hutan.
Sejak tahun 2003, penyusunan rencana kerja didasarkan pada SK Menhut No.16/Kpts-II/2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 4 tahap pelaksanaan yaitu :
1.      Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Usaha / RKU;
2.      Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Lima Tahun / RKL;
3.      Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Tahunan / RKT; dan
4.      Penetapan kuota produksi dan proses pengesahan RKT.
Dalam perkembangannya kemudian, PP34/2002 direvisi menjadi PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa poin baru penting yang terkandung dalam peraturan pemerintah yang baru ini adalah :
a.       Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan;
b.      Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sebagai wilayah pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari beserta penjabaran detilnya;
c.       Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang;
d.      Pembentukan lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI dan HTR.
Berikut daftar beberapa kebijakan / produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya pengelolaan hutan lestari :
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
1.      UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2.      UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industr dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
3.      PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4.      PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
5.      PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
6.      Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
7.      Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana Strategis Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan.
8.      Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi.
9.      Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
10.  Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
11.  Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
12.  Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
13.  Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil Hutan Bukan Kayu.
14.  Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
15.  Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
16.  Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2008 Penyelenggaraan Statistik Kehutanan
17.  Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008 Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/ Menhut-II/2007.

C.     Pengertian Masyarakat Lokal
Pengertian masyarakat lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber daya hutan terbagi menjadi masyarakat hukum adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian belum ada satu peraturanpun yang memberi penjelasan tentang apa makna sebenarnya dari masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat hukum adat diambil dari kepustakaan ilmu hukum adat, khususnya setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.
Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya, yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan pengelolaan, sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Hak pengelolaan terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat hukum adat didasarkan atas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 4.
Hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Namun demikian, pasal 2 ayat 4 tersebut tidak ditindaklanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya. Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari pasal 2 ayat 4 UUPA berakibat bahwa masyarakat hukum adat hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan, antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967; Pasal 6 PP No. 21 Tahun 1970; dan Pasal 1 Keppres No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan oleh masyarakat Hukum Adat atau anggotanya di dalam Areal Hak pengusahaan Hutan.
Masyarakat lokal diartikan pula sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal itu sebagaimana termuat dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan bukan pada hukum negara/nasional. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat setempat, sebagaimana halnya penduduk asli (indigenous people).
penduduk asli (indigenous people) adalah kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses pembangunan
Karakteristik Indigenous people antara lain:
1.      melekat pada wilayah nenek moyang dan pada sumber daya alam di daerah tersebut;
2.      mengidentifikasikan diri dan diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota kelompok budaya yang berbeda;
3.      memiliki bahasa asli yang seringkali berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa;
4.      adanya institusi sosial-politik; dan
5.      pola hidup yang masih bersifat subsisten dan berorientasi produksi.

D.    Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan.
Masyarakat Lokal (tradisional atau pedesaan) secara umum mempunyai pola pikir immanen(Subyektif), dimana mereka memandang sumberdaya alam termasuk hutan di dalamnya tidak terpisahkan dari sistem sosial karena keduanya merupakan komponen ekosistem. Pemanfaatan yang berlebihan apalagi merusak akan memusnahkan kehidupan mereka sendiri. Misalnya dalam kasus masyarakat Dayak di Kalimantan, sumberdaya alam berfungsi sangat penting bagi tata kehidupan mereka, karena fungsi ekonomis dari tanah dan sumberdaya alam terkait dengan nilai-nilai sosial, budaya, kepercayaan, dan bahkan politik. Oleh karenanya pemerusakan daya dukung (carrying capacity) dan daya lenting (resilience) lingkungan tidak dikenal dalam konsepsi pemanfaatan sumberdaya pada kelompok masyarakat tersebut. 
Bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal beserta norma-norma yang menyertainya masih dijumpai dan dipraktekkan hingga kini, tidak hanya di Kalimantan tetapi juga hampir di seluruh pelosok Nusantara. Walaupun demikian sebagai kegiatan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat tradisional secara objektif ada nilai positif dan negatif, yaitu: 
1.      Nilai positif yang dimiliki meliputi : 
§  Sistim pengelolaan hutan yang ada tumbuh dan berkembang dari masyarakat lokal sendiri, meskipun dimungkinkan atas dorongan perkembangan eksternal (aspiratif);
§  Struktur, komposisi, dan pengelolaan sistem tumbuh dan berkembang sesuai dinamika sosial-ekonomi dan kultur lokal selama turun temurun berdasarkan pengalaman interaksi masyarakat dengan lingkungannya (adaptif);
§  Mengimplementasikan aturan tradisional ataupun kesepakatan lokal yang menjadi identitas komunal dan dihargai oleh seluruh lapisan dalam kelompok masyarakat bersangkutan (partisipatif);
§  Teknik dan regulasi yang sederhana dan sesuai dengan tingkat sosio-kultural setempat menjadikan sistem pengelolaan lokal sumberdaya alam mudah berkembang dan diikuti setiap warga masyarakat (adoptif)
2.       Nilai negatif yang dijumpai adalah :
§  Menurut sifatnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal pada umumnya berorientasi subsistens, sehingga seiring tuntutan kebutuhan hidup tidak memberikan jaminan pendapatan yang memadai (kurang atraktif);
§  Secara umum pengelolaan sumberdaya alam berskala besar bersifat komunal dan menerapkan upaya musyawarah dalam pengambilan keputusan (walaupun hak dan penguasaan individual juga diakui, tetapi secara umum dalam skala kecil), sehingga menyulitkan pencapaian kesepakatan dalam pengembangannya misalnya inovasi teknologi (kurang toleran);



BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan

Hutan dalam pengertian fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Secara harfiah, pada dasarnya istilah masyarakat lokal (local communities), penduduk asli (indigenous people), masyarakat setempat, dan masyarakat (hukum) adat; sebagaimana dipaparkan di atas, mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan, dan/atau merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya.
Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
DAFTAR PUSTAKA

Diakses pada tanggal 30 September 2014 pada pukul 10.06
Diakses pada tanggal 30 September 2014 pada pukul 14.13
Diakses pada tanggal 30 September 2014 pada pukul 14.30
Diakses pada tanggal 29 September 2014 pada pukul 16.00


No comments: