SOSIOLOGI KEHUTANAN
Kebijakan Kehutanan Dan Masyarakat Lokal
Oleh :
Kelompok 5
Aldi Saputra L 131 13 194
Deden Prayogo L 131 13 179
Supardi L 131 13 150
Astri Damayanti L 131 13 207
Ayu Rahma L 131 13 159
Ivon Ristania Podala L 131 13 210
Erin Putri L 131 13 ___
JURUSAN
KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
Hutan dalam pengertian
fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ketergantungan manusia
terhadap sumberdaya alam (natural resource) telah dimulai sejak kehadiran
manusia pertama di bumi. Ketergantungan tersebut dalam upaya mempertahankan
eksistensinya dan selanjutnya guna peningkatan kesejahteraannya. Akibat
peningkatan populasi dan konsekwensi pemenuhan kebutuhannya (primer, sekunder,
dan tersier), manusia dalam hal ini masyarakat lokal tradisional mulai mencoba
memelihara dan membuat aturan main pemanfaatan sumberdaya agar tidak punah.
Meskipun demikian pengalaman perusakan sumberdaya, misalnya hutan, tidak pernah
terdengar akibat eksploitasi berlebihan dari masyarakat lokal, khususnya
masyarakat adat
Kebijakan pengelolaan
hutan di Indonesia dimulai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Maka
dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata
pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai
suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh.
b.
Rumusan Masalah.
1.
Bagamana perkembangan kebijakan pemerintah
dalam pengelolaan hutan lestari?
2.
Bagaimana tradisi perkembangan
pengelolahan hutan oleh masyarakat lokal?
c.
Tujuan
1.
Mengetahui perkembangan dalam peraturan
pemerintah pada bidang kehutanan dalam pengelolaan hutan yang lestari.
2.
Mengetahui tradisi pada perkembangan
pengelolahan hutan yang di lakukan oleh masyarakat lokal yang berada pada
lingkungan hutan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Kehutanan.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang
merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur
perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat. Contoh
kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4)
Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap
kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh obyek kebijakan.
Undang-Undang Republik Indonesia No 41
tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu.
B. Kebijakan Pemerintah Pada Pengelolaan
Hutan.
Kebijakan pembangunan
kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169)
tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005),
segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan
modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:
a.
Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha
di Indonesia dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia
yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat
internasional.
b.
Pemerintah memberikan kemudahan dan
fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal
asing di dalam negeri.
c.
Sumber daya tenaga kerja selain mudah
didapatkan juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di
Indonesia.
Untuk mendukung peningkatan penanaman
modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan,
maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan
ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi
eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP
No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
(HPH dan HPHH).
Setelah Peraturan ini
dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-
besaran dilakukan pemerintah, terutama di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada
pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik
Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tahun 1999 produk hukum
Kehutanan kembali diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41
tahun 1999 disertai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 dimana Undang-undang ini mencakup
pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam penjelasan,
dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi
perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti
undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih
kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan
datang.
Gugatan terhadap urusan
pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistis di zaman
orde baru di jawab dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.62.1998 tentang
penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah,
meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan.
Kebijakan selanjutnya yang keluar dalam periode
implementasi UU 41/1999 adalah PP 6/1999 tanggal 27 Januari 1999. Ada beberapa
poin penting dalam PP ini adalah :
1.
Pemberian HPH dengan luas lebih dari
50.000 hektar dilakukan melalui pelelangan.
2.
Ada pembatasan luas HPH yang dapat
diberikan kepada suatu perusahaan.
3.
Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan
yang mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku.
4.
Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi
20 tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman
diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok.
5.
HPH bisa dipindahtangankan.
6.
Koperasi dapat memperoleh HPH dan
7.
Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi
(KPHP).
Adanya beberapa poin yang kontroversial
pada PP 6/1999 seperti HPH dapat digunakan sebagai jaminan, kemudian mendorong
pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34
tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. PP 35 tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi, dan PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Khususnya dalam PP
34/2002, beberapa poin baru yang menarik adalah :
1.
Pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemanfaatan kawasan,
2.
Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah
menjadi kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk
kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung
dan KPHK untuk Hutan Konservasi,
3.
Hak pengusahaan hutan diganti menjadi ijin
usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH),
4.
Pemberian wewenang pemberian ijin kepada
pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Kaitannya dengan Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdapat kerancuan yang cukup
mengganggu, yaitu meskipun namanya ijin usaha pemanfaatan namun pemegang ijin
usaha masih dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tergolong
sebagai pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar
dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat
yang sama pemegang ijin masih diwajibkan untuk melakukan rehabilitasi hutan.
Sejak tahun 2003,
penyusunan rencana kerja didasarkan pada SK Menhut No.16/Kpts-II/2003 tentang
Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam 4 tahap pelaksanaan yaitu :
1.
Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja
Usaha / RKU;
2.
Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja
Lima Tahun / RKL;
3.
Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja
Tahunan / RKT; dan
4.
Penetapan kuota produksi dan proses
pengesahan RKT.
Dalam perkembangannya kemudian, PP34/2002
direvisi menjadi PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa poin baru penting yang
terkandung dalam peraturan pemerintah yang baru ini adalah :
a.
Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan;
b.
Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan
(KPH) sebagai wilayah pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan
peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari beserta penjabaran
detilnya;
c.
Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui
lelang;
d.
Pembentukan lembaga keuangan untuk
mendukung pembangunan HTI dan HTR.
Berikut daftar beberapa kebijakan / produk
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya pengelolaan hutan
lestari :
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
1.
UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2.
UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian
Ijin Dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Industr dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
3.
PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan
Kehutanan.
4.
PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah.
5.
PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan
Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
6.
Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana
Kerja, Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
7.
Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008
Rencana Strategis Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan.
8.
Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007
Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi.
9.
Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007
Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
10.
Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007
Tata Cara Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
11.
Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007
Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
12.
Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
13.
Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007
Hasil Hutan Bukan Kayu.
14.
Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
15.
Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
16.
Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2008 Penyelenggaraan
Statistik Kehutanan
17.
Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008
Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/ Menhut-II/2007.
C. Pengertian Masyarakat Lokal
Pengertian masyarakat
lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber
daya hutan terbagi menjadi masyarakat hukum adat dan masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan. Istilah masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan
perundang-undangan. Namun demikian belum ada satu peraturanpun yang memberi
penjelasan tentang apa makna sebenarnya dari masyarakat hukum adat. Istilah
masyarakat hukum adat diambil dari kepustakaan ilmu hukum adat, khususnya
setelah penemuan van Vollenhoven tentang hak ulayat (beschikkingsrecht) yang
dikatakan hanya dimiliki oleh komunitas yang disebut sebagai masyarakat hukum
adat. Pengertian masyarakat hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok
masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri
baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat.
Hak masyarakat hukum
adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya,
yang lazim dikenal dengan hak ulayat adalah hak yang berkenaan dengan
pengelolaan, sekaligus pemanfaatan sumberdaya. Hak pengelolaan terhadap
sumberdaya hutan bagi masyarakat hukum adat didasarkan atas Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 4.
Hak masyarakat hukum
adat untuk mengelola sumberdaya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional
bersumber dari delegasi wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum
adat yang bersangkutan. Namun demikian, pasal 2 ayat 4 tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan peraturan yang lebih rendah untuk operasionalisasinya.
Ketiadaan peraturan lebih lanjut dari pasal 2 ayat 4 UUPA berakibat bahwa
masyarakat hukum adat hanya diberikan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan,
antara lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967; Pasal 6 PP
No. 21 Tahun 1970; dan Pasal 1 Keppres No. 251/Kpts-II/93 tentang Ketentuan Hak
Pemungutan Hasil Hutan oleh masyarakat Hukum Adat atau anggotanya di dalam
Areal Hak pengusahaan Hutan.
Masyarakat lokal
diartikan pula sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal
itu sebagaimana termuat dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91,
tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di
Dalam dan di Sekitar Hutan. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah
kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan
sekitar hutan.
Perbedaan masyarakat di
dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat hukum adat terletak pada acuan
kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum
negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang
bersangkutan dan bukan pada hukum negara/nasional. Istilah masyarakat di dalam
dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat
setempat, sebagaimana halnya penduduk asli (indigenous people).
penduduk asli
(indigenous people) adalah kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan
identitas sosial dan budaya dari kelompok masyarakat yang dominan dan
menjadikan masyarakat tersebut rentan untuk tidak diuntungkan dalam proses
pembangunan
Karakteristik Indigenous people antara
lain:
1.
melekat pada wilayah nenek moyang dan pada
sumber daya alam di daerah tersebut;
2.
mengidentifikasikan diri dan
diidentifikasi oleh kelompok masyarakat lainnya sebagai anggota kelompok budaya
yang berbeda;
3.
memiliki bahasa asli yang seringkali
berbeda dari bahasa nasional suatu bangsa;
4.
adanya institusi sosial-politik; dan
5.
pola hidup yang masih bersifat subsisten
dan berorientasi produksi.
D. Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan.
Masyarakat Lokal (tradisional
atau pedesaan) secara umum mempunyai pola pikir immanen(Subyektif), dimana
mereka memandang sumberdaya alam termasuk hutan di dalamnya tidak terpisahkan
dari sistem sosial karena keduanya merupakan komponen ekosistem. Pemanfaatan
yang berlebihan apalagi merusak akan memusnahkan kehidupan mereka sendiri.
Misalnya dalam kasus masyarakat Dayak di Kalimantan, sumberdaya alam berfungsi
sangat penting bagi tata kehidupan mereka, karena fungsi ekonomis dari tanah
dan sumberdaya alam terkait dengan nilai-nilai sosial, budaya, kepercayaan, dan
bahkan politik. Oleh karenanya pemerusakan daya dukung (carrying capacity) dan
daya lenting (resilience) lingkungan tidak dikenal dalam konsepsi pemanfaatan
sumberdaya pada kelompok masyarakat tersebut.
Bentuk-bentuk
pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal beserta norma-norma yang
menyertainya masih dijumpai dan dipraktekkan hingga kini, tidak hanya di
Kalimantan tetapi juga hampir di seluruh pelosok Nusantara. Walaupun demikian
sebagai kegiatan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat tradisional secara
objektif ada nilai positif dan negatif, yaitu:
1.
Nilai positif yang dimiliki meliputi
:
§ Sistim pengelolaan hutan yang ada tumbuh dan berkembang dari masyarakat
lokal sendiri, meskipun dimungkinkan atas dorongan perkembangan eksternal
(aspiratif);
§ Struktur, komposisi, dan pengelolaan sistem tumbuh dan berkembang sesuai
dinamika sosial-ekonomi dan kultur lokal selama turun temurun berdasarkan
pengalaman interaksi masyarakat dengan lingkungannya (adaptif);
§ Mengimplementasikan aturan tradisional ataupun kesepakatan lokal yang
menjadi identitas komunal dan dihargai oleh seluruh lapisan dalam kelompok
masyarakat bersangkutan (partisipatif);
§ Teknik dan regulasi yang sederhana dan sesuai dengan tingkat sosio-kultural
setempat menjadikan sistem pengelolaan lokal sumberdaya alam mudah berkembang
dan diikuti setiap warga masyarakat (adoptif)
2.
Nilai negatif yang dijumpai adalah :
§ Menurut sifatnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal pada umumnya
berorientasi subsistens, sehingga seiring tuntutan kebutuhan hidup tidak
memberikan jaminan pendapatan yang memadai (kurang atraktif);
§ Secara umum pengelolaan sumberdaya alam berskala besar bersifat komunal dan
menerapkan upaya musyawarah dalam pengambilan keputusan (walaupun hak dan
penguasaan individual juga diakui, tetapi secara umum dalam skala kecil),
sehingga menyulitkan pencapaian kesepakatan dalam pengembangannya misalnya
inovasi teknologi (kurang toleran);
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
a. Kesimpulan
Hutan dalam
pengertian fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Secara harfiah,
pada dasarnya istilah masyarakat lokal (local communities), penduduk asli
(indigenous people), masyarakat setempat, dan masyarakat (hukum) adat;
sebagaimana dipaparkan di atas, mengacu pada satu pengertian yang sama, yaitu
masyarakat yang tergantung terhadap kawasan hutan, dan/atau merupakan
kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan
serta mengandalkan hasil hutan demi kelangsungan hidupnya.
Kebijakan
pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957
No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra
Tingkat I.
DAFTAR PUSTAKA
Diakses pada tanggal 30 September
2014 pada pukul 10.06
Diakses pada tanggal 30 September
2014 pada pukul 14.13
Diakses pada tanggal 30 September
2014 pada pukul 14.30
Diakses pada tanggal 29 September
2014 pada pukul 16.00
No comments:
Post a Comment